Judul: Kebijakan Penataan Pembelajaran di Tempat Kerja untuk Mendukung Pembentukan Corporate University ASN
Menyadari kondisi mendesak tersebut maka peningkatan kompetensi pegawai ASN mendapatkan penekanan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Bahkan Praturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil menjamin hak setiap PNS untuk mendapatkan pengembangan kompetensi sebanyak 20 jam pembelajaran per tahun, yang sebenarnya bisa lebih banyak dari itu seandainya tidak terkendala oleh keterbatasan anggaran pemerintah.
Kenyataannya pengembangan kompetensi pegawai ASN yang ada masih perlu perbaikan. Kelemahannya terletak pada paradigma yang digunakan, yakni model “pusat pelatihan” dengan pendekatan pelatihan yang dominan berbasis ruang kelas. Model ini mengharuskan pegawai meninggalkan tempat kerjanya selama proses pelatihan. Selain mahal dari segi waktu dan biaya, juga dapat mengganggu kelancaran pelayanan ketika pegawai meninggalkan tempat kerja untuk mengikuti pelatihan. Pendekatan pelatihan yang berbasis ruang kelas hanya memberikan sedikit kesempatan pembelajaran karena bersifat periodik, terbatas daya tampungnya dan biayanya. Karena perubahan lingkungan yang dinamis dewasa ini maka daur hidup pengetahuan dan keterampilan menjadi lebih pendek (Linkedin 2018) sehingga cepat menjadi usang. Olehnya itu, diperlukan suatu model pembelajaran yang berlangsung terus menerus. Hal ini menyebabkan pelatihan formal di lembaga pelatihan yang sifatnya periodik tidak memadai lagi untuk mengembangkan kompetensi pegawai karena tidak mampu menandingi laju perubahan yang terjadi.
Menyadari permasalahan di atas, Lembaga Administrasi Negara yang diberi mandat sebagai pembina pendidikan dan pelatihan ASN menggagas pembentukan Corporate University untuk ASN Indonesia (Corpu ASN). Corpu pada prinsipnya merupakan manivestasi dari budaya organisasi pembelajar yang abstrak dan implisit ke wujud yang lebih formal dan eksplisit. Keunggulan Corpu terletak pada fokusnya pada pengembangan kompetensi untuk mendukung pencapaian visi, misi dan strategi organisasi, hal mana berbeda dengan model pusat pelatihan yang hanya memperhatikan pemenuhan kebutuhan belajar individu sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1.
Pada Gambar 1 Quigley (2014) memperlihatkan pentingya kesejajaran antara laju perubahan unit pengembangan kompetensi dengan perubahan organisasi induk. Jika pusat pelatihan tidak bertransformasi sementara organisasi harus berubah karena tuntutan kondisi lingkungannya maka lembaga pelatihan akan menjadi unit yang terkucil dan menjadi tidak relevan, yang dijuluki “Training Ghetto”. Permasalahan pelunya lembaga pelatihan bertransformasi serupa dengan kasus taxi konvensional yang tegeser oleh taxi online yang mendayagunakan teknologi informasi agar mampu mensejajarkan diri dengan kebutuhan dan tuntutan konsumen.
Model Corpu juga lebih unggul karena menganut prinsip pembelajaran holistik, yakni blended-learning dimana pelatihan formal di lembaga pelatihan dipadukan dengan berbagai bentuk pembelajaran non-konvensional di tempat kerja; lembaga pelatihan sebagai lokus pembelajaran periodik dipadukan dengan tempat kerja sebagai lokus pembelajaran yang berkelanjutan; dan interaksi tatap muka dipadukan dengan interaksi secara virtual. Dewasa ini “lebih dari separuh organisasi membaurkan content siap pakai yang terstruktur dengan konten yang dikustomisasi, dan lebih dari sepertiga membaurkannya dengan pembelajar ruang kelas virtual secara live” (Bersin 2004). Penelitian oleh eLearning Guild memberi konfirmasi mengenai semakin banyaknya blended learning (93% responden) dan menyimpulkan bahwa blended learning semakin umum dijadikan format untuk desain, pengembangan dan delivery konten pembelajaran (Woodall and Hovis 2010).
Secara teoretis, keunggulan model Corpu tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang mengungkap peluang besar yang ditawarkan oleh tempat kerja sebagai lokus pembelajaran (lihat Gambar 3). Menurut ahli pembelajaran organisasi, 70% - 90% pengetahuan yang dimiliki seseorang bukan didapatkan melalui pelatihan formal dalam ruang kelas (Leslie, Aring et al., 1997; Day, 1998; Low, Tjongarero et al., 2001), tetapi dari interaksi informal di tempat kerja (Leslie et al., 1997; Day, 1998). Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat juga memperkirakan sekitar 70% atau lebih pembelajaran terkait pekerjaan terjadi di luar pelatihan formal. Sertifikasi pada pelatihan formal sebagai bentuk pengakuan terhadap pembelajaran tidak signifikan, karena sebagian besar pembelajaran dalam berbagai bentuk terjadi di tempat kerja dan dalam kehidupan sehari-hari tidak mendapatkan pengakuan (CEDEFOP 2009). Model 70:20:10 yang dikembangkan oleh Lombardo and Eichinger (2006) menunjukkan bahwa di tempat kerjalah sebagian besar pembelajaran terjadi sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2.
Sejalan dengan itu hasil survei terbaru yang dilakukan oleh Linkedin Learning menemukan bahwa 68% pegawai lebih menyukai belajar di tempat kerja (Linkedin 2018). Bahkan hasil lain survei ini juga menunjukkan meningkatnya kebutuhan akan pembelajaran yang lebih fleksibel, misalnya 58% pegawai lebih menyukai belajar sesuai kecepatan sendiri dan 49% menyukai belajar dititik waktu munculnya kebutuhan. Hal ini sejalan dengan komposisi pegawai dewasa ini yang sifatnya multi generasi dan dengan preferensi cara belajar yang beragam. Pelatihan ASN yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan pemerintah dewasa ini belum memanfaatkan 70%-90% peluang pembelajaran di tempat kerja tersebut.
Permasalahan
You don't learn to walk by following rules. You learn by doing, and by falling over - Richard Branson.
Permasalahan utama yang dihadapi saat ini adalah belum adanya kebijakan yang mengatur bagaimana melaksanakan pembelajaran di tempat kerja secara efektif agar hasil pembelajarannya sejalan dengan strategi organisasi dan dapat diakui sebagai bentuk pengembangan kompetensi pegawai ASN. Pembelajaran di tempat kerja mendesak untuk dibuatkan kerangka kebijakan karena jika terlambat akan menjadi bottleneck bagi terbentuknya Corpu ASN setelah ditetapkan nantinya. Mendesaknya penataan pembelajaran di tempat kerja juga karena transformasi budaya organisasi menjadi learning organization memerlukan proses yang panjang. Oleh karena itu membutuhkan waktu lama karena rumit, bersifat informal dan berada pada dimensi implisit organisasi. Jika tidak dialakukan secara dini akan menyulitkan mendapatkan dukungan dari berbagai lembaga pelatihan pemerintah untuk bertransformasi dan berintegrasi dengan Corpu ASN nantinya.Karena sifatnya baru dan memerlukan transformasi budaya maka pedoman penyelenggaraan pembelajaran di tempat kerja sangat mendesak untuk disusun karena merupakan bagian vital dari pengembangan kompetensi pegawai ASN, prakondisi, critical success factor dan bahkan prasyarat bagi terwujudnya model blended-learning yang merupakan ciri utama Corpu ASN.
Tujuan Proyek Perubahan
Secara umum proyek perubahan ini bertujuan untuk menyiapkan pedoman penyelenggaraan pembelajaran di tempat kerja dalam rangka mendukung pengembangan kompetensi ASN pada umumnya dan pembentukan Corporate University ASN pada khusunya.Pedoman ini akan mengatur proses dan hasil pembelajaran di tempat kerja agar menjadi eksplisit dan dapat dinilai secara objektif dalam rangka memberikan pengakuan formal terhadap pembelajaran di tempat kerja sebagai bentuk pengembangan kompetensi pegawai ASN
Manfaat Proyek Perubahan
Jika tujuan tersebut di atas tercapai maka akan memberikan manfaat kepada pegawai ASN, organisasi, dan masyarakat.
Terciptanya fondasi yang kokoh bagi berdirinya Corpu ASN karena budaya belajar secara holistik sudah dibentuk terlebih dahulu dengan adanya pedoman pembelajaran di tempat kerja
Model pembelajaran Corpu ASN dapat tersosialisasi secara dini kepada pegawai ASN dan organisasi pemerintah sehingga meningkatkan peluang keberhasilan Corpu ASN
Menjadi dasar bagi pengembangan validasi proses pembelajaran di tempat kerja yang sudah ada yang merupakan bagian dari pelatihan formal: habituasi pada pelatihan dasar CPNS dan laboratorium kepemimpinan, tahapan perubahan jangka menengah dan panjang pada Diklatpim yang memang bentuknya workplace learning
Memberi kesempatan kepada pegawai ASN untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang bersifat kontekstual karena dikembangkan dari aktivitas melaksanakan tugas dan tangung jawab sehari-hari.
Menyediakan instrumen untuk menilai secara objektif proses dan hasil pembelajaran di tempat kerja sehingga dapat diakui sebagai bentuk pengembangan kompetensi pegawai ASN
Membantu pegawai ASN memperoleh hak pengembangan kompetensinya sebanyak 20 Jam pembelejaran per tahun, atau bahkan lebih dari itu
Mempermudah terbentuk dan terbaginya tacit knowledge yang sangat menentukan profesionalisme pegawai
Medukung terwujudnya lingkungan belajar yang kontekstual, fleksibel dan menyenangkan.
Mendorong efisiensi anggaran (Value for money) untuk pengembangan kompetensi pegawai karena pembelajaran berbasis ruang kelas yang biayanya tinggi tidak lagi terlalu banyak dibutuhkan.
Pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu karena pegawai tidak perlu selalu meninggalkan tempat kerja untuk untuk mengikuti pelatihan.
Membantu menyehatkan iklim organisasi karena berkembang budaya saling berbagi.
Dapat digunakan secara umum meskipun bukan dalam konteks Corpu ASN
Memungkinkan dipakai untuk memisahkan pegawai yang termasuk cream of the cream untuk dimasukkan dalam talent pool
Return on Training Investment bisa menjadi lebih besar karena pelatihan yang mengambil porsi kecil dari quota pembelajaran tidak lagi tersendiri tetapi sudah diperkuat oleh pembelajaran di tempat kerja
Potensi Hambatan dan Upaya Mitigasinya
Kebijakan terkait pembelajaran di tempat kerja tidak dapat mendahului kebijakan induknya, yaitu kebijakan Corpu ASN yang sekarang masih dalam proses penyusunan. Hal ini dapat di atasi dengan selalu berkoordinasi dengan tim penyusun Corpu ASN agar rancangan yang dibuat sedekat mungkin disesuaikan dengan perkembangan terkini arah kebijakan Corpu ASN agar kompatibel. Teknik lainnya adalah dengan menyusun bahan kebijakan pembelajaran di tempat kerja sehingga dapat segera digunakan sebagai strategi pengembangan kompetensi oleh berbagai instansi pemerintah.
Proses belajar di tempat kerja sifatnya implisit sehingga gampang luput dari perhatian dan menbuat sebagian stakeholder kurang memahami pentingnya membuat kebijakan terkait pemanfaatan tempat kerja sebagai lokus pembelajaran. Hal ini terutama disebabkan karena budaya birokrasi Indonesia yang sangat kaku dan formalistik. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya dialog yang intensive dengan berbagai stakeholder untuk meyakinkan signifikansi dan urgensi mengatur pembelajaran di tempat kerja.
Pembelajaran di tempat kerja lebih condong masuk ke dimensi informal sehingga sulit dijustifikasi sebagai bentuk pengembangan kompetensi. Sebagai solusinya akan diambil jalan tengah dengan membiarkan pembelajaran di tempat kerja tumbuh alami tetapi pada saat yang sama dilakukan intervensi kebijakan untuk membuatnya visibel sehingga dapat dinilai proses dan learning outcome-nya secara lebih objektif
Tradisi mendokumentasikan pekerjaan belum berkembang dengan baik sehingga mungkin banyak yang melihat pengaturan pembelajaran di tempat kerja sebagai sesuatu yang rumit dan menyita waktu. Olehnya itu, kebikan yang lahir nantinya harus tegas dan ada sanksi maupun reward yang jelas.
Budaya pembelajaran berbasis kompetensi belum berkembang baik sehingga kemungkinan pembelajaran di tempat kerja tidak menarik bagi pegawai maupun pimpinan organisasi. Solusinya adalah dengan membuktikan bahwa mereka yang proses belajarnya di tempat kerja terdokumentasi dengan baik memiliki kinerja dan peluang karir yang bagus
Widyaiswara kemungkinan menganggap peranannya akan berkurang ketika pembelajaran di tempat kerja sudah diatur. Sebagai solusinya, kompetensi widyaiswara harus dikembangkan kearah yang lebih strategis, misalnya merancang bangun pelatihan, menciptakan konten pembelajaran, menjadi fasilitator pembelajaran dan coach di tempat kerja, curator pengetahuan dan sebagainya
Pengukuran hasil pembelajaran akan menemui kesulitan karena berbagai alasan, misalnya menilai pembelajaran yang sifatnya fleksibel rumit dan mahal, kebiasaan mengukur dampak sebagai bahan untuk perbaikan ke depan belum membudaya. Sebagai solusinya akan dilakukan stocktaking terhadap konsep dan praktek yang sudah ada.
Ruang Lingkup
Proyek perubahan ini pada saat selesainya nanti akan melahirkan suatu kebijakan yang mengatur mengenai proses dan hasil pembelajaran di tempat kerja serta prosedur untuk pengakuannya secara formal untuk menjadikan pembelajaran di tempat kerja tersebut sebagai bagian integral dari pengembangan kompetensi pegawai ASN. Namun untuk jangka pendek, proyek perubahan ini dibatasi pada penyiapan bahan kebijakan yang penyusunannya telah melalui diskusi, masukan dan dukungan dari stakeholder kunci.Secara garis besar, pedoman direncanakan meliputi:
Pengertian, Ruang lingkup dan bentuk penyelenggaraan pembelajaran di tempat kerja
Proses Penyelenggaraan Pembelajaran di Tempat Kerja
Validasi proses dan hasil pembelajaran di tempat kerja
Output Kunci
Beberapa output kunci menuju ke terwujudnya dan teritegrasinya Pedoman Pembelajaran di Tempat Kerja ke dalam kebijakan pengembangan kompetensi ASN dan Corpu ASN adalah sebagai berikut:
Draft awal Pedoman Pembelajaran di Tempat Kerja
Draft yang sudah direvisi berdasarkan masukan dari stakeholder
Pelaksanaan dan laporan pelaksanaan piloting bagian tertentu dari pedoman
Bahan-bahan promosi dan kampanye media massa mengenai pembelajaran di tempat kerja
Persetujuan Kepala LAN untuk meneruskan proses legislasi terhadap Pedoman Pembelajaran di Tempat Kerja
Bình luận